Sepulveda dan Wacana Ekologi Sederhana

Laut
4 min readJun 18, 2022

--

koleksi pribadi

Alam dan lingkungan hidup, tidak hanya dipahami sebagai latar tempat dan suasana yang dimanfaatkan dalam pembuatan jalan cerita pada sebuah karya sastra, namun juga merupakan salah satu aspek penting yang ikut membangun estetika sebuah karya sastra. Sebagai penikmat buku-buku fiksi dengan cerita sederhana, karya Luis Sepulveda menjadi salah satu yang turut diingat ketika berbicara tentang keterlibatan aspek lingkungan dalam sebuah alur cerita.

Misalnya Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang yang terbit pada tahun 1996. Novella satu ini bercerita tentang camar dan kucing hitam pelabuhan sebagai tokoh utama. Namun kisah ini juga diawali dengan prolog yang mengerikan. Sebuah kapal tanker membuang limbah minyak ke laut, dan seekor camar yang akan bertelur justru terjerat limbah yang membuat bulu-bulunya lengket. Limbah yang lengket tersebut tentu membuatnya tidak bisa terbang, dan pada akhirnya mati setelah bertelur di beranda lantai dua sebuah rumah dekat pelabuhan.

Rumah tersebut merupakan tempat tinggal seekor kucing hitam. Lantas setelah bertelur, di camar meminta kucing bernama Zorbes itu untuk merawat telurnya dan berjanji untuk mengajarinya terbang. Sebuah kisah petualangan pun dimulai dari sana. Seperti fabel sederhana yang bisa sangat ringan untuk bisa dinikmati anak-anak, namun di sisi lain mengandung gugatan antroposentris yang logis.

Menarik memang membaca kisah-kisah pada novella yang ditulis oleh Luis Sepulveda. Selain cerita Zorbes dan si camar, Sepulveda juga pernah menulis tentang kehidupan seorang kakek tua di hutan Amazon. Para pecinta sastra Amerika Latin tentu sudah tak asing lagi dengan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta. Dalam novella tersebut, Sepulveda menceritakan tentang kehidupan seorang Antonio Jose Bolivar yang hidup di batas wilayah antara hutan Amazon dan pemukiman El Idilio. Konflik antara suku adat, pemerintah, dan pendatang menjadi topik penting yang dikemas dalam buku yang pertama kali terbit pada tahun 1898 itu.

Baik Antonio Jose maupun Zorbes menjadi dua tokoh yang menarik dalam cerita mereka masing-masing. Sepulveda tampaknya memang ingin mengangkat tentang masalah ekologi yang dikemas dengan kisah sederhana dan ringan dibaca. Pun tidak sedikit yang kemudian menyadari tentang wacana kritik tersebut. Lima tahun setelah kemunculan The Old Man Who Read Love Story, ulasan tentangnya pun turut hadir dengan model ekokritik. David Unger menjadi penulis pertama yang mengulas buku Sepulveda tersebut di New York Times pada tahun 1994.

Dalam ulasannya tersebut, David mengungkapkan tentang bagaimana kepiawaian Sepulveda dalam menggambarkan kehidupan di hutan Amazon. Pun bagaimana kemudian penulis asal Chili tersebut secara tidak langsung juga menanamkan kepercayaan tentang krisis ekologi kepada para pembacanya. Sepulveda sendiri memang dikenal sebagai jurnalis sekaligus aktivis politik dan lingkungan yang bergabung bersama Greenpeace pada tahun 1982 untuk ikut memperjuangkan lingkungan hidup. Lantas, melalui kemampuan menulisnya, Sepulveda mengungkapkan dilema dan keresahannya mengenai lingkungan yang semakin rusak dan menuju ambang batas.

“Namun, ini juga tempat Tuan Sepulveda menginjak tanah yang goyah: dia ingin kita percaya bahwa tidak hanya secara simbolis, tetapi juga dalam kehidupan nyata, tatanan alam telah dibuang secara permanen dan bahwa hutan berada di tepi jurang. dari kehancuran ekologi. Di sini pembaca mungkin merasa bahwa penulis melebih-lebihkan kasusnya, jika saja penceritaan kisahnya tidak begitu mencekam dan bergairah, begitu diceritakan dengan tajam — begitu penuh puisi.” Tulis David Unger dalam Flight To Amazonia (New York Times, 1994).

Sama seperti yang diungkapkan David Unger, saya sendiri sepakat bahwa terkadang lingkungan dan suasana yang digambarkan oleh Sepulveda terkesan melebih-lebihkan. Walau di sisi lain, saya benar-benar mengacungi jempol saat Sepulveda bisa begitu piawai dalam menyuguhkan detail setiap landscape hutan Amazon yang apik dalam karyanya.

Karya memang menjadi salah satu media dalam berbagai hal, termasuk cara siapapun untuk mengkritik. Saya sering mendengar seorang comedian di Indonesia, termasuk dalam komunitas stand up comedy sendiri bahwa komedi pun menjadi sarana untuk mengkritik sesuatu. Dari mengkritik diri sendiri hingga mengkritik lingkungan dan pemerintah. Sama halnya dengan novel atau sebuah karangan, karya menjadi sebuah bentuk dan cara mengungkapkan kritik itu sendiri.

Hutan yang semakin habis serta laut yang semakin tercemar. Kondisi lingkungan yang kian memprihatinkan menjadi perhatian Sepulveda untuk tidak sekedar membuat alam dan lingkungan sebagai latar tempat dalam karya sastranya. Tetapi juga berupaya untuk mengungkap hal apa yang akan terjadi jika kerusakan alam ini masih terus berlanjut.

Menariknya, Sepulveda membawa ekokritik tersebut dalam cerita yang ringan dan sederhana. Seperti burung camar yang mati karena tercemar limbah. Atau penderitaan macam kumbang yang kemudian harus mati karena penambang yang membunuh pasangannya. Hal yang mungkin dianggap sepele bagi banyak orang, tapi sebenarnya membawa peran penting. Cukup berpikir sederhana seperti pemahaman seorang penganut paham naturalis, biosentris, maupun ekosentris. Bahwa aspek-aspek inilah yang menungjang sebuah kehidupan untuk tetap saling bekerja dengan baik. Lingkungan adalah satu kesatuan komponen yang menempati peran strategis dan membawa pengaruh bagi satu sama lain.

Jika satu komponen rusak atau punah, maka komponen lain tidak dapat bekerja dengan baik. Sehingga terjadilah disekuilibrium atau ketidakseimbangan. Di Indonesia sendiri, konflik lingkungan seperti yang dikisahkan Sepulveda memang benar terjadi. Paus yang mati karena limbah plastik, harimau yang mati dalam jerat babi hutan, atau orangutan yang ruang jelajahnya makin terbatas karena masifnya pembukaan lahan.

Membaca Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta seketika mengingatkan saya pada novel Harimau! Harimau! milik Mochtar Lubis. Dengan latar yang sama dan alur yang tidak jauh berbeda, pembaca yang telah membaca kedua buku tersebut akan dengan mudah melihat persamaannya. Perburuan antara jenis kucing besar dengan manusia, serta krisis lingkungan yang diangkat agaknya memang membawa cerita yang menarik. Kemarahan hewan liar ini seakan jadi representasi atas kemarahan alam kepada manusia yang sudah melewati batasnya.

Sekalipun hutan dan alam memiliki hukum alam untuk mempertahankan diri, namun ia tetap tak bisa bertahan sedirian. Dalam hal ini, sastrapun tidak bisa mengubah keadaan yang sudah terjadi pada lingkungan. Sebagaimanan yang dikatakan Sepulveda dalam bukunya, “sastra tidak bisa mengubah realitas, tapi sastra bisa mencerminkan (dan memberi cerminan) pada sapek yang sangat penting darinya,” (hlm. 131) .

--

--

Laut
Laut

Written by Laut

hanya kompilasi dari banyak kontemplasi

No responses yet