Kita Butuh Apa? Pembangunan Berkelanjutan atau Keberlanjutan Ekologi?
“All these shootings, pollution, we under attack on ourselves”
Sepenggal lirik lagu milik Lil Dicky ini seringkali membuat saya merenung. Lagunya yang berjudul “Earth” yang dilantunkan oleh sejumlah penyanyi terkenal di luar sana selalu berhasil membuat saya termenung, dan bergeming. Berfikir tentang peran manusia dan hewan dalam kondisi bumi yang kian hari kian memburuk ini.
Selama ini, kerusakan lingkungan yang banyak disumbangkan oleh manusia benar-benar mengancam kehidupan. Bukan hanya tumbuhan, hewan, dan makhluk hidup lainnya, tapi juga kepada manusia itu sendiri. Penyebabnya pun tidak lain karena manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.
Contohnya saja, kerusakan hutan, pembukaan lahan, dan pembalakan liar menjadi sebab deforestasi terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan berdasarkan data yang dihimpun Tirto, Indonesia menempati posisi kelima terkait dengan negara-negara yang kehilangan tutupan pohon terbesar. — update tahun 2023, Indonesia menjadi negara keempat sebagai negara yang mengalami deforetasi terluas (menurut analisis citra satelit yang dilakukan World Resource Insitute [WRI] dan University of Maryland)
Sejak 2001 hingga 2014, Global Forest Watch mencatat Indonesia telah kehilangan 18,91 juta Ha hutan. Pada periode yang sama, Rusia, yang menempati posisi teratas, kehilangan 42,13 juta Ha hutan, disusul oleh Brasil yang kehilangan 28,77 juta Ha.
Selain itu, Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil perikanan (BKIPM) menyebutkan bahwa kerusakan terumbu karang dari perairan Sabang sampai Merauke disebut sudah mencapai 46 persen. Pun tak hanya itu, polusi udara serta mobilisasi manusia yang begitu pesat sangat memungkinkan adanya gangguan penyakit dan menurunnya kualitas kehidupan manusia.
Entah sampai kapan kondisi seperti ini akan terus berlangsung. Hutan kehilangan pohon-pohonnya. Laut kehilangan terumbu karangnya. Udara kehilangan kebersihannya. Hewan kehilangan habitatnya karena ekosistem yang semakin rusak. Dan semua itu juga diperparah dengan kondisi permukaan bumi yang dipenuhi oleh sampah.
Padahal kehancuran lingkungan hidup seperti itu menyebabkan negara dan masyarakat harus membayar mahal. Bukan saja dalam hitungan nilai finansial, melainkan juga dalam bentuk kehancuran kekayaan sosio-budaya serta kekayaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Hutang kita sudah begitu banyak kepada bumi. Termasuk kepada hutan dan pohon yang telah banyak memberikan kehidupan.
Berdasarkan penelitian, setiap 1 Ha hutan tropis dapat mengubah 3,7 ton CO2 menjadi 2 ton oksigen (O2). Bertambahnya pohon akan menambah jumlah oksigen yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Satu pohon menghasilkan 1,2 kg oksigen sehari. Satu manusia membutuhkan 0,5 kg okigen sehari. Berarti satu pohon dapat menghidupi 2 orang manusia. Menebang 1 pohon sama dengan membunuh 2 orang manusia. Padahal jika kita mau memilih untuk menjaganya, alam pun akan menjaga kehidupan kita.
Semakin besar kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kerusakan hutan dan kebutuhan akannya, sebenarnya akan semakin banyak orang yang menyerukan jargon serta aksi penanaman pohon. Tapi memang tidak semudah itu membuat orang hendak bergerak sekalipun mereka sadar. Ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan serta diprioritaskan oleh dari masing-masing individu.
Walaupun begitu, ada satu hal yang kerap menghambat seseorang untuk sadar akan pentingnya aspek lingkungan dalam kehidupan, yakni kekeliruan cara berfikir. Sebagaimana dilontarkan oleh Arne Naess dan ahli etika lingkungan lainnya,
“kekayaan alam selalu dibaca dan dilihat semata-mata sebagai sumber daya ekonomi yang siap dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi.”
Kekeliruan lain adalah perhatian utama pembangunan ekonomi hanya tertuju pada perbaikan standar kehidupan, khususnya standar material. Yang menjadi pusat perhatian dari seluruh proses pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan material, sekaan hanya inilah hal utama bagi hidup manusia.
Dengan kata lain, yang dituju oleh pembangunan bukan kualitas kehidupan, melainkan perbaikan standar kehidupan material. Yang dikejar hanya uang, materi, dan kemewahan. Sedangkan jalan untuk mencapai hal itu adalah dengan menguras habis kekayaan alam yang ada, yang direduksi semata-mata sebagai bernilai ekonomis saja.
Seketika saja jadi ingat sebuah cuitan seseorang di media sosial. Saat sedang ramai kasus korupsi timah, ada satu orang yang berpendapat bahwa kekayaan itu sebenarnya tidak dapat dengan instan. Butuh puluhan tahun kerja keras untuk bisa menikmati hidup yang penuh dengan harta.
Jika kamu bisa menikmati kekayaan sebanyak itu, ada beberapa kemungkinan asal harta tersebut. Pertama, dari hasil korupsi. Kedua, eksploitasi buruh (pekerja) atau sumber daya alam. Ketiga, mewarisi kekayaan dari orang tua yang melakukan kedua poin sebelumnya.
Dan ya! Eksploitasi besar-besaran terhadap segala jenis sumber daya alam menjadi salah satu cara instan untuk menuai banyak harta. Sayangnya, pola pikir yang cenderung terfokus pada kepuasan diri sendiri ini yang kemudian dapat berakhir menjadi bencana ekologi. Selalu rakus dan merasa tak cukup, sehingga akan mengambil terus yang ada di alam tanpa meninggalkan sedikitpun untuk generasi mendatang.
Dengan segala kondisi tersebut, yang perlu kita pertanyakan kembali adalah sebenarnya kita sedang menuju kemana? Pembangunan berkelanjutan atau keberlanjutan ekologi?
Ah, lupakan semua janji-janji manis soal perbaikan lingkungan dan konservasi. Harapanmu akan padam seketika oleh undang-undang yang mengatasnamakan perbaikan ekonomi rakyat, namun justru membuat para pemilik modal itu dengan longgarnya mengeksploitasi alam. Undang-undang dan aturan bisa diterobos demi kepentingan kantong pribadi dan kelompok. Termasuk jika itu harus dengan membabat habis hutan-hutan dan mencemari sumber-sumber air.
Padahal kita semua tahu, tidak bisa hanya dengan dua tangan kita mengubah lingkungan tempat kita tinggal agar menjadi lebih baik. Kesadaran semua orang — yang benar-benar dari semua oranglah, perubahan itu dapat bekerja. Karena saya pun sepakat dengan paragraf terakhir sebuah artikel yang ditulis oleh Raka Ibrahim di Asumsi.co,
“Pada akhirnya permasalahan kolektif membutuhkan penyelesaian kolektif juga. Bukan kesaktian individu, apalagi lilin-lilin konotatif. Sekadar mengutuk kegelapan memang menjengkelkan, tetapi menyalakan lilin tidak ada gunanya bila kita tidak pernah bertanya mengapa ruangan ini senantiasa gelap gulita.”
*Artikel ini pernah diunggah di laman Metamorfosa.co pada 2021