Beberapa orang mungkin sudah bosan dengan kampanye-kampanye perihal sampah dan menjaga kebersihan lingkungan. Sedangkan beberapa yang lain masih terus berusaha bersuara terhadap permasalahan yang terlihat kecil dan sepele namun berdampak besar ini.
Tidak bisa sekedar dengan buang sampah pada tempatnya. Kita harus memilih dan memilah sampah berdasarkan kategorinya. Karena percuma jika membuang sampah pada tempatnya, tetapi semua jenis sampah ditumpuk menjadi satu. Pola kumpul-angkut-buang, hanya akan menyebabkan beban pencemaran selalu menumpuk di lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Bahaya gas metana mengancam di depan mata.
Leuwigajah, jadi sebuah refleksi atas tragedi kelalaian manusia dalam mengelola hasil teknologinya sendiri. Longsor sampah yang terjadi pada 21 Februari 2005 tersebut merenggut 157 nyawa dan menghapus keberadaan dua kampung dari peta. Peristiwa itu yang kemudian melahirkan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) pada 21 Februari, sebagai refleksi terhadap peristiwa ledakan longsor sampah di TPA Leuwigayah, Kabupaten Cimahi.
Adalah gas metana yang dihasilkan oleh tumpukan sampah dan diguyur hujan semalaman. Hingga pukul 02.00 dini hari, terjadilah longsoran yang terdengar seperti ledakan dan menimbun segala hal yang di dekatnya. Memang sebegitu mengerikan ketika dibayangkan kembali. Bagaimana kemudian tubuh-tubuh manusia tertimbun oleh tumpukan sampah yang barangkali memang tidak diharapkan kehadirannya di sana.
16 tahun berlalu, namun persoalan sampah seakan terus menjadi topik perbincangan karena pengelolaan yang masih buruk. Bahkan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan juga sempat menjadi berita yang banyak diperbincangankan lantaran penumpukan sampah yang sudah melebihi kapasitas di sepanjang tahun 2019 hingga 2020.
Sayangnya, lambat laun kengerian itu seakan luntur seiring dengan abainya kita terhadap sampah-sampah kecil, yang ada di dapur, di atas meja, atau bahkan di saku celana. Masalah sesepele itu, bisa menghasilkan tragedi bencana yang menakutkan.
Di hari yang sama, yakni 21 Febaruari 2021, menjadi peringatan hari paus sedunia atau world whale day. Hari paus sedunia diperingati setiap minggu ketiga bulan Februari untuk menghormati paus bungkuk yang berenang di lepas pantai, saat bermigrasi di musim dingin pada tahun 1980 di Maui, Hawaii. Hal ini dirayakan sebagai upaya peringatan sekaligus perlindungan terhadap jenis paus tersebut yang mulai terancam punah akibat perburuan dan mati karena polusi laut.
Berbicara tentang polusi laut, pada Kamis (18/02) lalu, puluhan paus terdampat di selat Madura. Tepatnya di wilayah Desa Patereman, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, Madura. Dari 52 ekor paus pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) yang terdampar di Pantai Modung, hanya satu yang bisa diselamatkan dan dilepaskan kembali ke laut. Penyebabnya masih berupa dugaan, namun ada kemungkinan karena adanya gangguan di laut.
Mengerikan juga membayangkan hamparan bangkai paus terdampar di pesisir pantai dalam kondisi mati dan penuh luka. Padahal di lain hal, peristiwa ini sekaligus dapat menyebabkan hilangnya peluang untuk penyerapan karbon.
Paus adalah hewan penyerap karbon terbesar. Sebuah laporan penelitian pada tahun 2010 dari tim ahli biologi kelautan University of Maine yang dipimpun yang Andrew J Pershing menemukan bahwa paus berperan penting dalam menangkap karbon dari atmosfer.
Hal ini disebabkan ketika paus mati dan jasadnya tenggelam ke dasar laut, semua karbon yang tersimpan di tubuh mereka berpindah ke laut dalam dan bertahan di sana selama beradad-abad atau lebih. Populasi paus dapat menenggelamkan antara 190.000 hingga 1,9 ton karbon pertahun ke dasar lautan. Itu setara dengan menghilangkan 40.000–410.000 mobil dari jalan raya setiap tahun.
Tidak hanya itu, kotoran paus diketahui cocok untuk pertumbuhan fitoplankton. Sekalipun seukuran miksoskopik, tapi jika digabungkan menjadi satu, fitoplankton dapat menangkap sekitar 40% dari semua CO2 atau empat kali lipat jumlah yang ditangkap oleh hutan hujan amazon.
Tetapi berbeda jika paus mati karena dibunuh atau ketik bangkainya tidak tenggelam ke dasar laut, karbon di dalam tubuh paus akan dilepaskan ke atmosfer. Maka kengerian pun terjadi. Mengingat peristiwa puluhan paus yang mati terdampar di Pantai Modung, berapa banyak karbon yang dilepaskan ke atmosfer oleh bangkai paus-paus itu.
Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apa hubungan dari dua kasus tersebut? Antara sampah dan paus.
Dua-duanya sangat memengaruhi gas rumah kaca atas keberlangsungan makhluk hidup di bumi. Ledakan sampah dan bangkai paus, sama-sama disebabkan sekaligus menyebabkan pelepasan karbon dioksida ke atmosfer. Padahal paus juga menjadi salah satu makhluk hidup yang dirugikan dari adanya sampah, terutama sampah padat seperti plastik. Beberapa kali kasus bangkai paus yang mati terdampar dan ditemukan sampah plastik di dalam perutnya. Bangkai paus serta sampah di perutnya melepaskan karbon dioksida (CO2) karena tidak bisa ditenggelamkan ke dasar laut.
Lalu apa yang lebih buruk dari menumpuknya karbon dioksida, gas metana, hingga efek gas rumah kaca? Yakni kepunahan makhluk hidup di bumi, termasuk manusia itu sendiri.
Secara alamiyah, bumi memang menghasilkan karbon dioksida dan gas rumah kaca. Baik dari aktivitas binatang maupun aktivitas bumi itu sendiri. Sayangnya aktivitas manusia yang beragam dapat menghasilkan gas rumah kaca yang berlebih, sehingga pemanasan global terjadi lebih cepat dari proses alaminya.
Pada akhirnya, tulisan ini tidak lain hanyalah sebagai pengingat atas kelangsungan hidup segala makhluk hidup di bumi. Dan jika diberi sebuah pertanyaan tentang; apakah selalu manusia yang salah? Tidak juga, tidak semua manusia menjadi perusak. Tapi justru karena tidak semua manusia juga merasa peduli dan menjaga lingkungan mereka sendiri, maka tulisan-tulisan semacam ini dibuat.
Seorang teman pernah berkata; pada akhirnya, lingkungan tetap akan rusak. Bumi akan hancur dan manusia akan menemui kepunahannya. Maka peran esjewe-esjewe yang menyuarakan kelestarian hanya untuk memperlambat kepunahan itu, toh kepunahan pada akhirnya terjadi dengan lebih cepat.
Maka aku pun menegaskan; bumi memang akan rusak, tetapi setidaknya ada hal yang bisa manusia lakukan dengan lebih baik daripada sekedar merusaknya. Terlebih jika dengan disengaja.
*Tulisan ini pernah diunggah di laman metamorfosa.co pada 2021