Negara yang Subur Sumber Daya Pangan, Subur juga Sampah Makanannya

Laut
4 min readJan 11, 2024

--

Semasa anak-anak, hal pertama yang paling sering membuat ibu marah adalah ketika saya tidak menghabiskan makanan. Sebagai seorang yang berada di masa gemar-gemarnya memelihara anak ayam berwarna-warni*, ancaman ‘nanti ayamnya mati loh’, ketika aku sudah tidak sanggup atau lebih tepatnya enggan menghabiskan makanan di piring, menjadi cukup efektif dibanding ancaman ‘nanti nasinya nangis loh’.

Yah, itu lebih tidak masuk akal menurutku pada waktu itu. Biar saja nasi menangis, toh aku tidak dengar. Tetapi aku akan lebih takut jika ayam-ayam imut itu harus mati akibat keegoisankua tidak menghabiskan makanan. Jadi pada akhirnya, aku memaksakan diri menghabiskan makanan.

Namun ketika beranjak dewasa, omelan-omelan semacam itu semakin hari terasa semakin lirih. Bahkan sedikit sekali terdengar. Sedikit sekali yang akan perduli apakah aku menghabiskan makanan atau tidak.

Memang ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, karena dahulu, anak-anak dianggap cenderung lebih pilih-pilih makanan dibandingkan dengan orang dewasa. Kedua, untuk membentuk kebiasaan anak terhadap pilihan makanan mereka sendiri ketika dewasa nantinya. Ketiga, dengan menghabiskan makanan yang disajikan, maka penyerapan gizi dapat lebih maksimal.

Dan dengan kemungkinan yang terakhir, anak-anak memang tidak bisa memilih makanannya sendiri. Dalam artian, makanan yang disajikan di depan mereka adalah makanan yang dipilihkan atau makanan yang dianggap bergizi oleh orang dewasa.

Dari fenomena tersebut, timbul pertanyaan tentang kenapa pesan untuk jangan menyisakan makanan masih cenderung tidak familiar ketika kita sudah beranjak dewasa?

Sangat disayangkan memang. Selama ini, pesan-pesan semacam itu hanya familiar di lingkup keluarga dan belum merambah pada ranah publik. Sehingga ketika kita beranjak dewasa, pesan tersebut cenderung dianggap sepele dan diabaikan. Padahal jika dibandingkan, lebih banyak mana sampah makanan yang dihasilkan oleh balita atau anak-anak yang makanannya pun terbatas dan cenderung dipilihkan, dengan sampah makanan yang dihasilkan oleh orang dewasa yang porsi makannya justru lebih besar dan beragam?

Di negara yang kaya seperti Indonesia, sumber makanan dapat dikatakan begitu melimpah. Baik yang berasal dari laut maupun daratannya. Bahkan dalam lagu Koes Plus, Indonesia begitu digambarkan dengan kesuburan tanahnya. Kita dapat hidup dari kail dan jala. Ikan dan udang dengan mudah justru menghampiri kita. Bahkan semudah menancapkan kayu ke tanah, tanaman bisa tumbuh dari sana.

Sayangnya, segala kemudahan itu juga seakan menjadi kutukan bagi negara yang kaya sumber pangannya. Indonesia justru menjadi penghasil sampah makanan nomor dua terbesar di dunia. Data dari Food And Agricultural Organization (FAO) menyatakan bahwa 13 ton sampah makanan di Indonesia berasal dari seluruh mata rantai pasokan makanan. Artinya, setiap orang bisa menghasilkan sampah makanan mencapai 300 kg per tahun.

Sampah makanan, menurut Badan Pangan dan Pertanian PBB atau FAO, adalah makanan yang hilang dan ditunjukkan oleh adanya penurunan berat atau penurunan kualitas makanan, yang terjadi pada setiap rantai makanan. Aspek konsumsi mencakup segala elemen, termasuk proses agrikultur, distribusi, masak-memasak hingga makanan itu disia-siakan konsumen. Seperti perilaku konsumtif dan pengelolaan yang buruk terhadap makanan.

Sebuah ironi dibalik sederet kasus kelaparan, gizi buruk hingga busung lapar yang juga menghantui setiap anak di Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap makanan layak konsumsi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sebanyak 13,8% balita di Indonesia mengalami kurang gizi dan 3,9% lainnya menderita gizi buruk. Fakta lain menyebutkan, 34,74% rumah tangga di Indonesia masih memanfaatkan bantuan beras miskin (Raskin) dari pemerintah.

Permasalahan ini tentu juga dipengaruhi oleh banyak hal. Termasuk pada keterbatasan finansial dan struktural dalam teknik panen, penanganan, dan penyimpanan pasca panen. Rantai pangan di fase hulu justru menjadi salah satu penyebab banyaknya sampah makanan. Padahal, sampah makanan yang terbuang sama dengan hilangnya sumber daya.

Sampah makanan menjadi sebuah masalah global yang signifikan, salah satunya bagi lingkungan. Untuk memproduksi makanan yang akhirnya menjadi sampah dan dibuang tersebut, digunakan 25% dari seluruh air bersih yang tersedia, atau setara telah menghabiskan 600 kubik kilometer air. Dampaknya, 1,1 juta orang di dunia tidak memiliki akses air minum.

Dampak lainnya, sampah makanan (organik) yang bercampur dengan sampah anorganik dapat menghasilkan limpasan cairan beracun yang mengancam sistem perairan dan kesehatan air tanah. Sekaligus akan menimbulkan gas metana yang berdampak terhadap timbulnya efek rumah kaca. Sektor rumah tangga memberikan kontribusi terhadap produksi emisi 78 ton CO2/tahun atau 45% jumlahnya terhadap emisi dari sampah makanan.

Anggapan terhadap sumber daya pangan yang melimpah, seringkali membuat kita justru abai dan kurang bisa menghargai makanan yang tersedia, sekecil apapun makanan tersebut. Bukan hanya soal mubazir, dengan tidak membuang makanan, kita telah berkontribusi terhadap banyak hal. Mulai dari menunda pemanasan global, hingga meminimalisir bencana alam yang disebabakan oleh ulah kita sendiri sebagai manusia.

Maka, sekali lagi, pesan untuk menghabiskan makanan pada dasarnya bukan hanya untuk anak-anak, namun berlaku juga untuk siapapun, di usia berapapun, yang merasa dirinya adalah manusia secara sadar.

Sadar dengan isi piringmu. Sadar dengan kapsitas dan kebutuhan tubuhmu. Sadar dengan sampah makanan yang kamu hasilkan.

(Tulisan ini pernah diunggah di laman metamorfosa.co pada 2021)

*Disclaimer: memelihara anak ayam warna warni sangat tidak dianjurkan karena terdapat praktik animal abuse.

--

--

Laut
Laut

Written by Laut

hanya kompilasi dari banyak kontemplasi

No responses yet