Menyemayamkan Kata-kata

Laut
3 min readDec 30, 2023

--

Kata-kata barangkali memang hal magis yang bisa menyihir seseorang. Namun, kata-kata juga yang bisa membuat harapan orang lain hancur. Dalam beberapa kesempatan, aku sendiri memilih untuk menjadikannya suatu hal yang kosong, tak bernyawa.

Dulu, jutaan kata-kata bisa menyihirku dengan mudah. Membuatku terbuai, bahagia, atau menangis dengan sangat keras. Membaca buku menjadi suatu pengalaman yang cukup menguras emosi dan pikiran. Lantas, seiring berjalannya waktu, aku tak bisa menemukan nyawa di sana. Dia mati, seiring dengan kebunku yang semakin mengering dan tandus.

Namun, melihat orang lain dengan perasaan yang hidup saat membaca buku merupakan hal yang menyenangkan. Ada rasa ingin mengulangi pengalaman yang sama. Tapi yah, tidak bisa dipungkiri bahwa realita menampar dengan lebih kejam dibandingkan kata-kata pada cerita yang ada di sebuah buku. Mungkin bisa dibilang ‘sudah tidak mempan’.

Kini, di usia yang menginjak masa kebingungan dan banyak resah menggantung di bahu, berpikir realistis dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi risiko menjadi hal yang lebih penting. Alih-alih mengisi pikiran dengan angan-angan yang yaah, mungkin semakin jauh dan sulit. Umur yang kata Wisnu Nugroho; akan menentukan banyak hal di hidup atau jati diri kita sebenarnya.

Saat mendengarkan salah satu podcastnya, aku turut mengamini banyak hal. Namun tidak sedikit pula yang aku anggap sebagai sesuatu yang berlebihan atau dengan kata lain, sulit kurasakan (untukku pribadi). Rasanya tidak mungkin, rasanya terlalu sulit. Aku yakin tidak semua orang bisa dengan lapang menjalani takdir yang dipilihkan untuknya. Tidak semua orang mampu berdamai dengan ekspektasi dan realita yang jauh tak sesuai. Tapi barangkali memang butuh waktu untuk semua itu.

“Kesadaran orang untuk menemukan dirinya, menemukan value nya, itu ada di momen-momen tertentu. Dan buat gue, itu kesempatan buat refleksi juga,” katanya.

Ketika mendengarkan penggalan percakapan tersebut, rasanya memang tersadar. Serumit apapun keadaan yang dihadapi, pasti bisa terurai asal kita gigih, berani, dan terus berusaha untuk perbaiki diri. Tidak perlu langkah besar. Langkah kecil, sedikit demi sedikit, setiap hari, pasti akan membawa perubahan tersendiri. Jika bukan lingkungan dan realita yang berubah, barangkali diri kita bisa berubah.

Dan yah, aku masih mendambakan perubahan diri yang memiliki hati lapang dan rasa syukur tiada hentinya terhadap hal yang kumiliki maupun tidak bisa kumiliki. Toh, kepemilikan barangkali memang bukan ujung tombak atau tujuan dari semua yang sedang diperjuangkan. Kurasa begitu. Berjalan tanpa terburu-buru, asal tetap berusaha untuk berubah lebih baik setiap harinya.

Yah, berbicara tentang proses hidup memang seakan tidak ada habisnya. Misalnya saja pertemuan dan perpisahan yang tidak pernah direncanakan. Namun setelah menghadapi begitu banyak perpisahan, rasa-rasanya diri ini lebih peka dalam menghadapi kesedihan.

Seperti momen-momen tak terduga yang seringkali terjadi di bulan September. Melewati bulan tersebut rasanya membuatku berada di sebuah titik balik. Perayaan-perayaan kesedihan yang membuat September terasa kelam. Namun juga membuatku berhenti sebentar untuk menarik napas panjang dan melihat ke belakang.

Ah, berbicara soal Semptember, seketika teringat dengan Kukila. Perempuan yang hidup sendiri dengan berbagai penyesalan serta rasa bencinya pada September dan pohon mangga. Perempuan yang hidup dengan memikul rasa bersalah yang begitu besar di pundaknya. Sedang, kesepian terus menggerus hidupnya dan membawanya pada kematian paling menyeramkan.

--

--

Laut
Laut

Written by Laut

hanya kompilasi dari banyak kontemplasi

No responses yet