Minggu sore yang basah bersama dengan sebuah novela baru saja tandas. Seminggu yang lalu, aku membelinya demi mengisi waktu luang selama di rumah sakit. Bersyukur sekali ada toko buku yang berjarak beberapa meter dari rumah sakit itu.
Dengan alasan karena pernah melihat seorang teman membaca buku ini, aku mengambilnya dari rak paling ujung di bagian sastra. Bagian yang sepertinya paling jarang dijamah tangan-tangan pembeli maupun petugas toko. Sedikit berdebu dan kotor.
Pada bagian terakhir buku ini, aku menemukan Knulp yang mendengar suara Tuhan dalam perjalanan menuju akhir pengembaraannya. Deretan pertanyaannya tak jauh berbeda dengan deretan pertanyaan yang memenuhi kepalaku akhir-akhir ini. Kenapa begini, kenapa begitu.
Keadaan yang mengejutkan dan seringkali memutarbalikkan ekpektasi seringkali menimbulkan pertanyaan tersendiri di kepala. Kegagalan, rasa sakit maupun hal yang menyedihkan. Termasuk rencana perjalanan yang tertunda.
“Biarkan saja itu semua”, kata Tuhan. “Apa gunanya mengeluh? Tidakkah kau lihat bahwa apapun yang terjadi adalah baik dan benar, bahwa semua memang sudah semestinya begitu? Apakah kau sungguh ingin jadi orang terpandang, atau seorang pengrajin ahli dengan seorang istri dan anak, sedang membaca koran dekat perapian? Tidakkah kau akan lari lagi untuk tidur di hutan bersama serigala dan membikin perangkap buat burung-burung dan menangkap kadal?”
Penggalan paragraf itu membuatku mengingat kata-kata Aomame dalam 1Q84 jilid 2 tentang pilih-memilih; bahwa bagaimana jika ternyata kita tak pernah memilih, bagaimana jika kita hanya seolah-olah memilih, padahal sebenarnya kita tidak memilih apapun. Kita hanya pura-pura memilih, karena mungkin semua sudah ditetapkan terlebih dahulu. Mungkin kita keliru menganggap bahwa kita memilih berbagai hal secara bebas.
Lalu, bagaimana jika konsep tersebut berlaku juga pada nasib dan takdir? Mungkin kita hanya akan sedikit kaget dengan hal-hal yang tak terduga, yang mampir dikemudian hari. Dan perkerjaan menyerapahi takdir atas setiap rasa sakit hanyalah menjadi perkara yang sia-sia.
Nasib serupa jalan pengembaraan tak ada ujung. Kita tak pernah tahu dimana akhir dari semua perjalanan ini. Pun bagaimana dengan caranya berakhir. Namun jika begitu, rasa-rasanya aku ingin ikut Knulp saat dia sedang berdiskusi dengan Tuhan. Mengetahui sedikit dari begitu banyak rahasia-Nya. Menitip beberapa pertanyaan. Barangkali dengan begitu hidupku sedikit lebih tenang dan mudah dijalani.
Dan beberapa waktu lalu, aku pernah menanyakannya pada Tuhan. Jika diberi kesempatan untuk mengetahui satu saja rahasia kecil-Nya. Aku ingin menyetahui bagaimana akhir dari semua rentetan perjuangan yang menyedihkan ini? Hingga tanpa terduga, pertanyaanku langsung terjawab esok hari dengan sangat gamblang. Jawaban Tuhan membuatkan bahkan sampai tak bisa menangis lagi. Responku hanya; oh, jadi begini. Sekalipun dibarengi pertanyaan; tapi mau-Nya apa sih?
Sedang yang lain kemudian riuh sekali. Menangis dan lancang bertanya, bahkan menodong jawaban pada Tuhan. Yang lainnya lagi justru memaksa untuk meminta ganti. Jelas dengan ganti yang lebih baik. Padahal bagaimanapun, setiap hal yang mampir dalam hidup selalu memiliki perannya sendiri. Tak kan sama sekalipun seakan-akan sudah digantikan.
Ah, aku hanya bisa memberi pernyataan dengan; tidak, tidak semua hal terjawab sekarang. Bahkan beberapa justru tidak ada.
Apa yang bisa diharapkan dari takdir yang begitu tak menentu? Mungkin jawabannya juga tidak ada, selain sebuah pemahaman.
Jadi benar yang dikatakan Tuhan pada Knulp, “apa gunanya mengeluh?”. Toh kita hanya menjalankan peran, kata Abah juga beberapa waktu lalu. Tapi bukankah seorang pemeran juga punya kehendaknya sendiri?
Hmm, sepertinya akan semakin rumit saja perkara ini. Jadi, kembali pada Knulp. Jika dia tidak menjadi seorang pengebara, tentu nasibnya akan lain. Hesse sepertinya harus memutar otak untuk membuat hidup Knulp semakin menarik untuk diceritakan.
Bagaimana kemudian membangkitkan kerinduan orang akan kebebasan. Menertawakan dan mencintai nasib yang diberi oleh Tuhan. Begitu pula dengan menikmati sekaligus merasakan derita dari nasib yang sama. Dan pada akhirnya, semua hanya tentang pemahaman dan penerimaan.
Knulp berbaring istirahat di atas hamparan salju. Kedua kakinya yang lelah telah menjadi ringan dan matanya yang bercahaya tersenyum.
Ketika ia menutup keduanya untuk tidur sejenak, ia masih mendengar suara Tuhan bicara padanya dan ia masih menatap ke dalam mata-Nya yang benderang.
“Jadi kau tak punya apapun lagi untuk dikeluhkan?” suara Tuhan bertanya.
“Tidak ada lagi,” Knulp mengangguk dengan tawa malu-malu.
“Segalanya baik-baik saja? Sudah semestinya begitu?”
“Ya,” ia mengangguk. “Segalanya sudah semestinya begitu.”
S U D A H S E M E S T I N Y A