Mengingat Murakami

Laut
3 min readAug 16, 2020

--

“Aku sadar bahwa di dunia ini ada sesuatu yang samasekali tidak akan bisa kita tangani.”

“Misalnya?”

“Misalnya gigi keropos. Suatu hari gigi kita sudah keropos tiba-tiba terasa sakit. Seseorang berusaha menghibur kita, tapi rasa sakit itu tidak berarti akan hilang. Kalau sudah begitu, kita mulai kesal terhadap diri sendiri. Kemudian kita juga mulai merasa sangat kesal terhadap orang-orang yang tidak merasa kesal terhadap dirinya sendiri. Ngerti nggak?”

“Sedikit,” jawabku. “Tapi coba kau pikirkan baik-baik. Kondisi semua orang sama saja. Sama seperti kita naik pesawat rusak. Tentu saja di situ ada orang yang bernasib baik dan bernasib buruk. Ada yang tangguh, ada juga yang lemah; ada yang kaya, ada pula yang miskin. Hanya saja tidak ada orang yang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada orang lain. Semua orang sama. Orang yang memiliki sesuatu selalu khawatir, jangan-jangan apa yang dia miliki sekarang akan hilang, sedangkan orang yang tidak memiliki apa-apa selaluu cemas, jangan-jangan selamanya aku akan tetap menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Semua orang sama! Karena itu, manusia yang menyadari hal itu lebih cepat harus berusaha menjadi sedikit lebih tangguh. Sekadar pura-pura pun tidak apa. Betul kan? Di manapun tidak ada manusia yang tangguh. Yang ada hanyalah manusia yang pura-pura tangguh”

Sepenggal percapakan yang kubaca ulang dalam “Dengarlah Nyanyian Angin” milik Haruki Murakami. Aku membuka-buka kembali buku Murakami yang terdapat di rak. Membaca sekilas bagian-bagian yang dulu aku tandai. Kemudian bertemu lah dengan penggalan percakapan di atas -lagi.

Mungkin jika bukan karena sebuah pertanyaan seorang teman beberapa waktu lalu — tentang buku paling favorit di antara buku-buku di rak kamar, aku tidak akan secara acak membuka ulang buku-buku Murakami. Termasuk buku ini.

Dan ketika membaca kalimat pertama di atas, pikiran secara otomatis menarik mundur ke belakang, masa yang telah lewat. Terutama segala kejadian yang tak menyenangkan, yang selalu disertai dengan sumpah serapah jika diingat kembali. Segala luka dan hal menyakitkan. Yang aku pikir bisa dihindari jika lebih berhati-hati, tapi nyatanya tidak. Yang aku pikir bisa ku atur, pun nyatanya tidak.

“Aku sadar bahwa di dunia ini ada sesuatu yang samasekali tidak akan bisa kita tangani.” Kata Nezumi.

Sebelumnya, aku pikir manusia selalu punya andil dominan dalam diri dan hidupnya. Menyesuaikan kondisi, mendapat pilihan, lalu mengambil keputusan atas segala hal. Terlepas dari banyaknya faktor yang juga memutar dan bergerak di sekelilingnya.

Dan ketika gagal, apa yang terjadi?

Menyalahkan dan menyerapahi diri sendiri jelas bukan menjadi jalan keluar, tapi setidaknya hal itu yang justru paling mudah dilakukan. ‘Ah, memang begitu kan? Ini hidupmu yang tanggung jawabnya harus kau pegang sendiri. Dan salahmu sendiri jika jatuh bahkan gagal. Semua perasaan sakit yang aku tanggung ini adalah milikmu’. Sebuah alibi yang yah, bisa dibilang masuk akal juga.

Pada dasarnya sempat terlupa, bahwa ada kerja kolektif di antara semesta yang begitu luas ini. Serta tangan-tangan tak terlihat yang secara tanpa disadari, menggerakan semesta kita yang lebih sempit lagi. Dan kesadaran manusia mengambil ranah paling penting dalam pemahaman ini. Ditambah dengan ketidaktahuan yang memang seringkali menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran hingga berakibat fatal.

“Kadang-kadang ada sesuatu yang tidak bisa kutahan, betapapun aku berusaha,” kata Nezumi lagi. Beberapa mungkin bisa kita kendalikan, tapi banyak juga yang tidak.

Dan toh tak apa. Sungguh tak apa.

--

--

Laut
Laut

Written by Laut

hanya kompilasi dari banyak kontemplasi

No responses yet