Ketika Air Bersih Dipertaruhkan, Hidup Siapa yang Layak Dipertukarkan?

Laut
5 min readNov 15, 2024

--

Koleksi Pribadi

“Saya tra tega sekali. Cuci satu motor saja banyak sekali air yang dikeluarkan. Tapi masalahnya di kampung saya itu susah air sekali. Ya Tuhan, ampuni saya kali ini saya tidak dapat menjaga air dengan baik.

Ujar Maria, seorang anak kosan yang digambarkan berasal dari Merauke dalam Imperfect The Series. Percakapan tersebut merupakan secuplik adegan yang paling saya ingat. Adegan ketika Maria marah saat melihat begitu banyak air yang dibuang hanya untuk mencuci satu motor. Rasannya seperti sebuah dark joke yang sangat gelap, menurut saya. Seakan ada seseorang yang mematikan lampu dan berbunyi ‘ctekk’.

Tidak dapat dipungkiri, air sudah menjadi bagian yang paling krusial dalam hidup semua makhluk di bumi. Sumber daya yang paling dibutuhkan dan dianggap melimpah bagi sebagian orang. Padahal nyatanya, air adalah sumber daya yang sangat terbatas.

Mari kita sejenak mengingat animasi The Lorax produksi Universal Pictures dan Illumination Entertainment. Jika dalam animasi tersebut, solusi dari kerusakan dan pencemaran udara di sebuah kota yang diakibatkan oleh manusia yang tamak menebang pohon adalah dengan menjual udara bersih dalam kemasan botol dan galon. Maka air sudah berlaku demikian sejak lama.

Adalah Hygeia, produk air minum kemasan pertama di Indonesia yang dirintis oleh seorang berdarah Belanda bernama Hendrik Freerk Tillema pada tahun 1910-an. Enam puluh tahun lebih dulu dari produk Aqua yang dirintis oleh Tirto Utomo. Ide Tirto Utomo membuat produk air dalam kemasan yang sampai saat ini laris di pasaran berawal dari istri kerabatnya yang mengalami diare akibat minum air dari keran.

Dari situlah Tirto kemudian berinisiatif menyediakan air minum bersih dan sehat sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Inisiatif tersebut juga seiring dengan mulai munculnya laporan tentang pencemaran dalam air tanah di kota-kota besar di Indonesia. Penyebabnya sangat beragam, mulai dari kebocoran limbah, penggunaan pestisida, hingga limbah dari tempat penimbunan sampah.

Dalam sebuah dokumenter film berjudul Diam dan Dengarkan, kualitas hidup dapat ditentukan melalui kualitas air yang berada di lingkungan terdekat. Semakin mudah kita menjangkau air bersih, semakin baik kualitas hidup masyarakat tersebut. Selain untuk konsumsi secara langsung, air juga digunakan dalam industri pakaian-pakaian bernilai tinggi. Yang sayangnya, ketika pakaian itu tidak terpakai lagi atau terbuang, maka dampak limbahnya akan memengaruhi kualitas air menjadi menurun.

Koleksi Pribadi

Hal ini pernah saya rasakan ketika dalam masa pengabdian kampus di suatu pulau di Madura. Saya merasakan bagaimana air bersih dan layak konsumsi sebagai barang mahal yang justru bernilai tinggi. Tapi bukan tanpa sebab, air sumur di pulau tersebut cenderung terasa payau dan hanya dapat digunakan untuk mandi serta mencuci. Di pulau itu, hanya ada satu mata air yang berada di suatu desa. Hanya di sini, air dapat dikategorikan layak konsumsi.

Sekalipun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai kandungan air tersebut, tapi warga bergantung pada sumber mata air itu. Tentu karena rasanya pun lebih segar, alias tidak payau sepert air sumur lain. Di sisi lain, masyarakat bergantung pada pasokan air kemasan yang dibawa oleh kapal-kapal tiap tiga sampai lima hari sekali.

Padahal jika dilihat dari perspektif lain, air kemasan juga memiliki dampak tersendiri bagi lingkungan mereka. Lebih tepatnya, dampak pada sampah yang dihasilkan. Pengolahan limbah atau sampah plastik yang belum merata, ditambah dengan masifnya konsumsi plastik, membuat fenomena ini justru bisa menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri.

Sejumlah fenomena dan pengalaman ini lantas membuat saya menarik kesimpulan bahwa; “barang” yang dijual dalam air dalam kemasan adalah proses dan kemasannya. Bukan air bersih di dalamnya. Yah, meskipun bersikap munafik terhadap air kemasan, mungkin bahkan belum menyentuh masalah yang akan kita hadapi terkait “air” dalam berpuluh-puluh tahun ke depan.

Baik, barangkali saat ini kita masih bisa mengesampingkan masalah air di masa depan. Tapi, justru ada satu pertanyaan yang tidak bisa dijawab ‘nanti’, yakni bagaimana nasib masyarakat sekitar yang air tanahnya dikuras dan justru dijual dengan tanpa menyisakan sedikit pun kepada mereka? Air yang pada dasarnya disediakan secara gratis oleh ibu bumi. Semakin dikomersilkan untuk kepentingan pribadi dan segelintir pihak.

Sebuah wilayah bernama Manderegi di Nigeria, Afrika Barat, pernah dihadapkan dengan kondisi serupa. Nestlé, sebagai salah satu produsen air terbesar di dunia, mengambil air dengan kualitas terbaik milik warga-warga lokal. Mengebor air tanah, membuat sumber mata air dan sungai-sungai mengering. Padahal mirisnya, mereka tidak dapat membeli sebotol Pure Life yang dibor di bawah wilayah mereka.

Netflix

Sebuah serial televisi Amerika Serikat berjudul Rotten, pernah menyoroti permasalan seputar rantai pasokan pangan, termasuk air. Lebih tepatnya, dalam seri yang berjudul Troubled Water. Serial ini memaparkan lebih lanjut tentang hasil liputan dan investigasi mengenai pertumbuhan eksplosif industri air kemasan, yang telah mendorong perusahaan untuk ikut andil dalam pasokan air publik yang justru membuat warga kekurangan air.

Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa Nestle menyediakan air menggunakan sumber air yang sama dengan pemasok air publik. Hal tersebut lantas mengubah “air” yang harusnya jadi barang publik, menjadi milik pribadi.

Bagi masyarakat yang sudah terbiasa dengan kemudahan akses terhadap air, melalui pipa-pipa yang mengalirkan air dengan derasnya ke setiap rumah, bisa jadi kecil kemungkinan menghadapi masalah kelangkaan air. Tapi kemungkinan lainnya, kenyamanan itu tidak bertahan lama. Air tanah yang dikuras terus menerus untuk kebutuhan jutaan orang sangat mungkin mengering jika tidak ada managemen penggunaan air tanah dengan baik.

Oka Agastya, seorang geosaintis yang mengisi diskusi webinar Bali Water Protection, menjelaskan bahwa kita bisa melakukan managemen air tanah dengan ‘investasi air tanah’. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menampung air hujan dengan baik. Bagaimana metode ini bisa berdampak pada air tanah?

Kita coba saja ambil contoh permasalahan banjir di Jakarta dan Semarang yang salah satunya disebabkan oleh penurunan muka tanah. Di kota-kota besar, air tanah terus dikuras dengan tanpa manajemen yang baik. Padahal hal ini hanya akan menghasilkan bencara yang terus berulang setiap tahunnya. Ironisnya lagi, perubahan iklim hanya akan memperburuk masalah itu.

Nah, menampung air hujan bisa jadi salah satu solusi karena membantu mengurangi aliran air ke permukaan tanah. Dampaknya, risiko erosi tanah juga menurun dan lanskap di tempat tersebut jadi lebih stabil. Hal ini juga dapat mengurangi beban pada sistem perkotaan selama hujan lebat, sehingga membantu mencegah banjir.

Sebagai penutup, saya ingin menyematkan sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan dari Charles Fishman yang dilontarkan di akhir bagian Rotten: Troubled Water. Ia mengatakan; “air menutupi bumi ini. Tapi populasi manusia tumbuh setiap hari. Akibatnya, air yang bersih dan segar menjadi semakin langka. Pertanyaan sebenarnya, bagaimana manusia bisa saling membantu atau tidak, di dunia yang terasa semakin sempit tiap harinya?” ujar seorang jurnalis sekaligus penulis buku The Big Thirst yang membahas tentang permasalahan dan kelangkaan air di bumi.

*Tulisan ini pernah diunggah di laman Metamorfosa.co pada 2021

--

--

Laut
Laut

Written by Laut

hanya kompilasi dari banyak kontemplasi

No responses yet