“Terima kasih. Tuk semua kawan. Semoga kita bisa berjumpa lagi.”
Renyah suara Man Angga dan Kupit memasuki rongga telinga. Sepertinya lagu ini dibuat untuk mengantar kepergian Cok Bagus dari Nosstress. Berdurasi 4 menit dengan tidak banyak lirik. 2 menit lagu mengalun, 2 menit lainnya adalah instrumen yang menampilkan slide-slide memori kebersamaan mereka bersama penggemar secara hitam-putih.
Yah, tak ada ketentuan mutlak dalam usaha mengingat, kan. Dan lagu ini kemudian mengingatkan saya pada suatu waktu ketika berkumpul bersama kawan-kawan COP School 11 di Omah Pari. Sebuah camp area di daerah Ngaglik. Dengan kebun-kebun, yang dikelola secara pribadi, sebagai pintu masuknya. Pondokan-pondokan. Dapur terbuka. Bely — anjing berwarna hitam yang entah apa jenisnya tapi sangat penurut. Sertaorang-orang yang menyenangkan.
di malam terakhir ketika perlahan mereka beranjak pergi.
Tentang COP School 11
Samar-samar ingatan saya perihal pertama kali mengenal COP (Centre for Orangutan Protection). Sepertinya hanya sekilas tahu sebagaimana saya mengetahui organisasi dan banyak komunitas lain yang bergerak dibidang lingkungan. COP sendiri menjadi organisasi yang berusaha untuk melawan kejahatan terhadap orangutan, sebagai satwa yang dilindungi dan terancam punah. Baik melalui penyelamatan terhadap orangutan maupun usaha penyelamatan habitatnya. Sedangkan COP School kemudian lahir sebagai upaya untuk meneruskan, dan melahirkan generasi dari orang-orang yang peduli dan ‘menolak punah’ terhadap orangutan.
Dan kami adalah angkatan ke sebelas yang mengikuti berbagai pelatihan dan materi tentang konservasi. Kegiatan ini mendekatkan saya dengan banyak orang-orang hebat dari berbagai daerah. Kebanyakan dari mereka adalah pejuang yang benar-benar mencintai pekerjaannya menyelamatkan satwa liar. Terasa menyenangkan bertemu orang-orang ini.
Saya pernah membaca postingan Edward Suhadi. ‘Cobalah hidup lebih baik lagi’, katanya, ketika dia kerap kali ditanya mengenai tips mendapatkan ide kreatif. Saran itu yang kemudian melandasi saya untuk pergi ke Yogyakarta mengikuti COP School 11. ‘Saya ingin bisa kembali menulis. Saya ingin mencoba memulai hidup yang lebih baik dari sini’, begitu tekad saya diam-diam. Yah, bisa dibilang sebuah motivasi untuk mencari motivasi lainnya.
Dan ternyata saya mendapati banyak hal di luar ekspektasi. Sembilan hari berkegiatan bersama mereka, saya tidak hanya belajar berbagai materi konservasi. Tapi lebih dari itu. Ada semangat perjuangan lingkungan dari kawan-kawan COP School. Ada ikatan yang terhubung secara tidak langsung selama sembilan hari . Bisa dibilang hubungan itu pun terbentuk dari situasi kami yang serba tidak mudah.
Maka ketika perpisahan tidak terelakkan lagi, sisi melankolis saya benar-benar bekerja. Saya merasakan sedih, sebagaimana perasaan sedih ketika melepas kepergian kawan lama.
Harapan yang Sama
Di kesempatan itu, saya berkenalan dengan seseorang yang sudah lama menggeluti dunia konservasi dan bekerja di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) di Sulawesi Utara. Ketika ditanya perihal keinginan dan tujuan sebenarnya bekerja di PPS, dia berkata; “yah, saya sebenarnya ingin PPS ini tutup. Tidak ada satwa dilindungi yang perlu masuk ke PPS ini untuk direhabilitasi. diselamatkan dan tidak perlu ada lagi perawatan untuk satwa-satwa tersebut.” Karena dengan begitu, menandakan bahwa tidak ada perburuan satwa untuk dipelihara demi kepuasan pribadi. Sehingga satwa liar hidup di habitatnya dengan baik.
Pernyataan itu mengingatkan saya pada cuplikan sebuah film dokumenter yang membahas tentang konflik lingkungan. Saya lupa tepatnya film apa, tapi tokoh dalam film tersebut, yang juga memperjuangkan alam dan hutan agar tidak beralih fungsi, menyatakan “saya justru berharap perjuangan ini tidak pernah ada. Saya tidak perlu repot-repot monitoring ke batas-batas wilayah antara hutan dan kebun sawit dan menebangi tunas-tunas sawit yang ditanam di luar lahan konsesi. Tapi kenyataannya, hutan tetap habis dan kita perlu mencegah laju deforestasi ini.”
Saya sangat mengapresiasi semangat itu. Tidak dipungkiri juga bahwa semangatnya menjadi pemantik diri saya sendiri yang telah memilih jalan ini. Tapi saya pernah lelah, mungkin bisa dikatakan lebih sering lelah. Merasa ‘ah, mungkin ini sia-sia’ atau ‘munafik sekali kamu, Ann’. Ketika beberapa hal yang berusaha saya perjuangkan merasa tak bernilai dan tak berpengaruh sama sekali. Mungkin juga karena niat saya yang masih setengah. Hal itu yang kemudian membuat saya lama berhenti menulis, terutama menulis untuk perjuangan lingkungan hidup.
Dan Orwell pernah menulis begini; “untuk bertahan hidup, atau setidaknya untuk mempertahankan segala jenis kemerdekaan, pada dasarnya adalah kriminal, karena itu berarti melanggar peraturan yang kamu sendiri akui.”
Yap! Di sini memang idealisme dan realita saya dipertaruhkan. Kamu bisa memilih bertahan hidup dengan mudah, sekaligus dengan mudah melanggar aturan yang kamu akui. Atau sebaliknya. Mengikuti kepercayaanmu sendiri, dengan pilihan hidup yang lebih sulit. Tapi memang segalanya menjadi beresiko. Tinggal kita memilih resiko apa yang sekiranya bisa kita hadapi.
Saya jadi teringat pada Santiago. Seorang nelayan tua yang mengarungi Samudra Atlantik demi mempertahankan seekor ikan marlin. Dia tahu peluang antara hidup dan mati menjadi sejajar ketika dia mengikuti ikan marlin berukuran besar yang memangsa umpan pada kailnya dan membawanya jauh menuju timur.
Dia tahu bahwa dia sangat mungkin kalah dengan laut. Tahu bahwa sekalipun dia berhasil membunuh dan menangkap ikan itu, tidak ada jaminan dia juga akan berhasil berlayar menuju pantai dengan tangkapan atau bahkan tubuhnya yang utuh. Sepertinya Ernest Hemingway tengah membuat harapan dan keberuntungan beradu dalam diri si Pak Tua.
‘Kamu berada di jalan yang sulit. Nanti kalau kamu lelah, kamu akan lebih mudah untuk berhenti di tengah jalan dan mengabaikan perjuangan ini.’
Saya pernah berkata demikian kepada diri saya sendiri. Kemudian sebuah pertanyaan muncul, kenapa saya bisa begitu tertarik dengan apa yang sedang terjadi dengan lingkungan hidup sedemikian rupa? Pertanyaan yang ketika lelah, saya tidak menginginkan jawaban dan hanya ingin berhenti.
Tapi ketika melihat foto ini, seketika saya teringat sebuah buku berwarna krem dengan gambar daun monstera di sampulnya. Di sana tertera; ‘Ya, Begitulah Kebahagiaan’, kata Orwell.
“Ya! Begitulah, kebahagiaan, Ann.” Ulang saya pada diri sendiri.