Setiap orang pasti pernah mengalami kekecewaan dalam hidup. Ekspektasi dan harapan cenderung menjadi tolak ukur kebahagiaan manusia. Padahal, seringkali kita tidak siap saat dijatuhkan oleh ekspektasi dan harapan yang kita buat sendiri.
Setelah bertahun-tahun belajar dan instropeksi, saya melihat kembali ke kehidupan saya untuk menemukan bahwa selama ini, saya telah belajar untuk menjalani hidup saya tanpa harapan. Meminimalisir ekspektasi akan membuat kita lebih mudah menerima apapun yang terjadi dalam hidup.
Saat dihadapakan dengan berbagai situasi, entah baik atau buruk, kita cenderung akan menerka-nerka hasil seperti apa yang akan didapat. Dan saat hasilnya tidak sesuai dengan yang telah dibayangkan, kita sering merasa hancur karena realita tidak sesuai dengan ekspektasi yang diinginkan.
Banyak yag menyalahartikan ekspektasi dan menyamakannya dengan harapan. Padahal ekspektasi dan harapan merupakan dua hal yang berbeda. Seorang psikiatris Amerika, Dr. Gerard May dalam ukunya The Awakened Heart menjelaskan perbedaan antara ekspektasi dan harapan.
Jika harapan merupakan sebuah pandangan umum memaknai suatu hasil yang dilihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari kepentingan diri sendiri, kepenringan orang lain, hingga efeknya terhadapa lingkungan sekitar, ekpektasi berfokus pada keinginan secara pribadi. Eksektasi lebih bersifat egosentris.
Saat kita berekpektasi, kita akan sulit mempertimbangkan kepentingan-kepentingan orang lain yang mungkin bisa menjadi faktor-faktor ‘penggagal’ untuk bisa mencapai hasil yang diinginkan. Maka dari itu, acapkali ekspektasi justru membawa kekecewaan karena kita sekaan mengenakan kacamata kuda.
Manusia memang cenderung lebih mempercayai opini dan pendapatnya sendiri. Jadi, terbilang sulit untuk tidak memasang ekpektasi dalam segala hal. selain itu, banyak orang beranggapan bahwa ekpektasi akan membuatnya tetap merasa hidup sebagai manusia. Walaupun hal tersebut memang wajar.
Sedangkan yang kemudian menjadi masalahnya adalah ketika ekspektasi itu tidak sesuai dengan realita dan kita tidak dapat mengendalikan situasinya. Hingga kemudian berdampak pada hal lain di luar kita, seperti kegiatan yang berantakan atau rusaknya hubungan dengan orang terdekat.
Sulit memang hidup tanpa ekspektasi, tetapi bukan tidak mungkin kita bisa hidup tanpanya. Atau yang lebih mungkin adalah menekan ekspektasi sekecil mungkin. Setiap dari kita memang harsnya dapat memanage ekspektasi.
Beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan untuk belajar hidup tanpa eksektasi:
Tidak berasumsi dalam segala suasana.
Yang harus dipahami secara fundamental adalah bahwasanya jangan pernah berasumsi dalam segala suasana. Saat ragu pada suatu hal atau sebuah siuasi, bertanyalah. Minta opini pada orang-orang terdekat seperti sahabat, kolega atau keluarga.
Kita seringkali terjebak pada asumsi-asumsi yang sebenarnya hanya pendapat pribadi dan bukan fakta atas apa yang terjadi. Daripada salah sangka dan hasilnya malah takkaruan, lebih baik bertanya.
Paham seperti stoisisme atau filosfi teras, mengajarkan bahwa hal-hal selain ukuran, tindak-tanduk, dan ucapan kita adalah hal yang ada di luar kendali diri. Jadi apapun hasilnya yang terjadi, kita harus memasrahkanya — karena semuanya terjadi bukan dalam kendali kita.
Dengan begitu, kita tidak perlu memasang ekspektasi apapun karena alamlah yang telah mengatur jalannya kehidupan.
Kedua, berhenti membandingkan diri dengan orang lain.
Seringnya ekspektasi muncul karena kita membandingkan diri dengan orang lian. Kemudian kita berkhayal dan bermimpi untuk bisa menyamai ata lebih baik dari itu. Lewat pendekatan mindfulness kita diajak unutk menikmati hidup apa adanya.
Tidak perlu untuk membanding-bandingkan diri kare setiap orang punya jalannya masing-masing. Bersyukur atas apa yang dimiliki sehingga tak perlu lagi memasang banyak ekspektasi.
Terakhir, fokus terhadap diri sendiri dan tidak terlalu sering mengandalkan orang lain
Jika kita sadar bahwa pada dasarnya kita hidup sendiri di dunia ini dan satu-satunya orang yang bisa diandalkan adalah diri kita sendiri, kita akan lebih mudah untuk mengendalikan ekspektasi dan harapan. Ini berlaku pada penempatan ekspektasi terhadap oang lain atau hal-hal di luar diri kita.
Seperti Piweling Maiyah nya Caknun:
“Aku sebenarnya ingin kalian semua terlatih, kamu melatih dirimu sendiri. Jika ingin gembira, ingin bersyukur, ingin bahagia itu, mbok jangan terlalu banyak tergantung sesuatu di luar dirimu. Kamu harus punya kemandirian dan kadaulatan untuk menciptakan kegembiraanmu sendiri.”
Jadi, lagi-lagi kembali pada ekspektasi. Hidup bukanlah film yang bisa kita karang dan kehendaki begitu saja alur ceritanya. Lebih dari itu, hidup adalah sekumpulan adegan yang bisa kita rencanakan tapi apa yang terjadi di lapangan bisa lebih buruk bahkan lebih baik dari perencanaan kita.